Bandung (ANTARA) –
“Ada banyak cara dan sarana yang bisa digunakan untuk memperkenalkan budaya dan pariwisata Jawa Barat, salah satunya film ini,” kata Chandravulan, Kepala Pemasaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, dalam talk show Pamali. di Gedung Sat, kota Bandung, Minggu.
Film “Pamali” adalah tentang “pamali” atau tabu yang telah ada di masyarakat Sudan sejak lama. Pamali adalah aturan tidak tertulis yang tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, akan terjadi bencana atau kemalangan.
Dalam masyarakat Sudan dulu, pamal sering digunakan sebagai benteng untuk menyelamatkan alam, nilai-nilai, atau tatanan sosial, tetapi dalam masyarakat modern, pamal sering diabaikan.
“Kami berharap melalui film ini masyarakat bisa lebih mengenal (budaya) dan keindahan alam Jawa Barat,” kata Chandravulan.
Chandravulan mengatakan bahwa untuk lebih mewakili film dan budaya Sudan, Pamali dapat dipromosikan melalui komunitas sehingga semakin luas.
“Salah satunya melalui komunitas-komunitas yang ada sehingga bisa cepat didistribusikan ke berbagai kelompok. Lewat film ini, giliran Pemkab Garut yang berpromosi karena pengaturan sejarah di Garut, di kasus lain, tentu di daerah lain,” katanya.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama, sutradara film “Pamali” Bobby Prasetio menyatakan minatnya untuk membuat film berdasarkan permainan dengan nama yang sama karena kandungan budayanya.
“Apalagi karena kandungan budaya pamali yang sudah mulai pudar jelas bagi masyarakat Sunda sendiri, khususnya kaum milenial. Untuk melakukan ini, saya merasa perlu menyampaikannya lagi melalui bioskop,” ujarnya.
Film “Pamali” bercerita tentang sepasang suami istri muda yang kembali ke kampung halamannya dan menjual harta rumah peninggalan orang tuanya. Banyak “norma hukum” yang dilanggar, yang pada akhirnya berujung pada bencana.
Pamali dibintangi oleh Martino Lio, Putri Ayudya, Taskya Namya, Yunik Priscilla dan Rukman Rosadi.